Modernis.co, Malang – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia mengalami pertumbuhan terorisme di banyak kota di Eropa dan di luarnya. Dari Prancis ke Finlandia, dari AS ke Belgia orang-orang dibombardir oleh media dengan berita mengenai serangan ini dengan cara yang menciptakan pembagian tanggung jawab yang tegas antara “kami” dan “mereka”.
Dengan sentimen kebencian yang menyebar di seluruh dunia, media menunjukkan bahwa banyak dari serangan mengerikan ini diorganisir oleh kelompok-kelompok jihadis dan bahwa dunia berada dalam bahaya serius.
Saya percaya peran media semakin penting dalam cara orang bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa ini, melalui cara penyebaran berita dan gema yang diberikan kepada elemen-elemen tertentu dari serangan, seperti kebangsaan atau agama para aktor.
Seperti yang diharapkan semua orang, ini berkontribusi pada pertumbuhan Islamofobia dan generalisasi bahwa setiap Muslim adalah seorang teroris.
Apa yang masih belum disadari banyak orang adalah bahwa terorisme tidak memiliki agama dan saya akan menjelaskan kepada Anda alasannya.
Jihadis hanyalah salah satu kelompok yang melakukan serangan. Menurut Europol, ada “empat kategori aksi teroris lain berdasarkan motivasi: sayap kanan; sayap kiri dan anarkis; etno-nasionalisme dan separatisme; dan isu tunggal (misalnya hak-hak binatang atau anti-aborsi).
Pada 2017, sebagian besar serangan teroris yang dilakukan di UE digolongkan sebagai serangan separatis (137 dari 205). ”Untuk mendukung ini, akan berguna untuk melihat pada platform Esri yang memetakan serangan teroris di seluruh dunia.
Di sini Anda akan ingat penembakan masjid Bærum di Norwegia, di mana seorang pria bersenjata Norwegia berusia 21 tahun menyebarkan kepanikan ke Islamic Center, atau dua serangan di Genoa (Italia) oleh kaum anarkis pada tahun 2019 atau serangan di Jerman yang diorganisir oleh kaum anarkis dan kanan. ekstrimis sayap.
Dunia Barat akhir-akhir ini kembali diselimuti oleh gejala Islamophobia. Untuk kesekian kalinya sejumlah negara di Eropa mengalami kekhawatiran terhadap munculnya kembali gerakan Islam ekstrimis yang mengancam mereka setelah tragedi terorisme di kantor majalah satire Charlie Hebdo Paris pada 7 Januari 2015 serta diikuti oleh sejumlah aksi pengeboman kelompok militan Islam Boko Haram di Nigeria.
Fenomena Islam kembali menjadi common enemy bagi dunia Barat setidaknya ditandai oleh serangkaian peristiwa berikut. Pertama, gejolak dan konflik politik yang berkepanjangan di Timur Tengah sejak tragedi Arab Spring 2010 hingga saat ini. Hal ini terlihat pada suramnya wajah demokrasi di Mesir, Libya, Irak, Suriah, dan Yaman.
Kedua, munculnya gerakan ekstrem-radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di berbagai negara dengan tujuan mendirikan negara Islam termasuk di Indonesia sejak dua tahun belakangan ini.
Ketiga, meningkatnya jumlah imigran terutama imigran Muslim di negara-negara Eropa dan Amerika. Gerakan protes menolak imigran yang terjadi di Jerman dan Inggris belakangan ini menunjukkan ketakutan kaum pribumi atas kehadiran orang asing.
Jauh sebelum tragedi Charlie Hebdo, beberapa media cetak di Eropa telah melakukan hal serupa, seperti pemuatan kartun Nabi Muhammad oleh harian cetak Dernmark, Jyllands Posten yang kemudian dipublikasikan ulang oleh majalah Italia, Studi Cattoli, edisi Maret 2006.
Di dunia maya, film berjudul Fitna (2008) besutan politisi Belanda pernah muncul untuk menyudutkan Islam sebagai agama terorisme dan kekerasan. Di Amerika, film berjudul The Innocent of Muslim (2012) juga bertujuan anti-Islam dengan menggambarkan Nabi Muhammad sebagai pribadi yang bodoh, pecinta seks, dan pelaku pelecehan anak.
Sejak beberapa tahun terakhir terjadi intoleransi agama dan ras di berbagai belahan dunia. Intoleransi itu bahkan telah berwujud kekerasan-kekerasan di berbagai belahan dunia. Mungkin satu di antara yang paling diingat adalah pembantaian Komunitas Muslim di kota Christchurch Selandia Baru beberapa waktu lalu.
Kecenderungan intoleransi itu tumbuh bagaikan jamur di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Baik pada skala besar dan bersifat sistemik. Atau pada skala kecil dan bersifat sporadis. Masih tampak di hadapan mata kita pembantaian saudara-saudara kita warga Rohingya di Myanmar.
Wanita-Wanita mereka diperkosa. Para pria bahkan anak-anak dibantai atau dipaksa meninggalkan rumah-rumah dan kampung mereka.
Kita juga diingatkan oleh kekejaman yang dialami oleh saudara-saudara Muslim di Kashmir. Dari hari ke hari, mereka semakin terisolasi dan terzalimi oleh militer India. Bahkan, kini pemerintahan Modi di India yang radikal memberlakukan undang-undang kependudukan yang rasis.
Di mana di perundang-undangan tersebut semua bisa menjadi warga negara India terkecuali mereka yang beragama Islam. Sementara itu, saudara-saudara kita di Palestina semakin tenggelam dalam kesuraman yang tiada akhir. Pemerintahan Trump dengan semaunya mengakui Jerusalem Timur sebagai Ibukota Israel.
Bahkan, memindahkan kedutaan Amerika ke kota Suci itu walaupun bertentangan dengan resolusi PBB. Terakhir, pemerintahan Trump membuat “deal” (persetujuan) dengan pemerintahan Natanyahu tanpa melibatkan pihak Palestina yang diakui sebagai penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Persetujuan yang mereka sebut dengan “the deal of the century” atau persetujuan abad ini ditolak mentah-mentah oleh pihak Palestina. Mungkin yang paling menyedihkan akhir-akhir ini adalah intoleransi ras dan agama yang terjadi di propensi Xingjian atau Turkistan Timur di China.
Saya katakan paling menyedihkan karena apa yang kita ketahui pasti jauh lebih kecil ketimbang yang sesungguhnya. Hal itu karena memang Komunis itu sangat ketat dalam menjaga rahasianya. Kamp-kamp konsentrasi hanya pernah terjadi berabad lalu di Eropa. Di saat Hitler dan tentara Naziz membasmi kaum Yahudi. Kini perlakuan itu juga terjadi kepada Komunitas Muslim di Xingjian.
Walaupun pemerintah Komunis China pintar menutupinya dengan istilah-istilah positif seperti “education camp” atau pelatihan pekerjaan, dan lain-lain. (Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. Catatan: tulisan adalah bagian dari presentasi yang sampaikan di acara Annual Interfaith Harmony di PBB New York, 6 Februari 2020).
Pertemuan elite-elite negara Eropa yang tergabung dalam European Union (EU) di Brussels, Belgia pada 19 Januari 2015 semakin menunjukkan bahwa Barat merasa sangat terancam dengan tindakan-tindakan terorisme dan kelompok ekstrimis seperti ISIS. Salah satu poin penting dari pertemuan ini adalah perlunya negara-negara Barat bekerjasama dengan negara-negara Muslim dalam menanggulangi tindakan terorisme.
Harapan Perdamaian
Berpijak pada penjelasan di atas bahwa trend Islam secara global mengalami perkembangan yang sangat signifikan meskipun isu radikalisme dan terorisme menyelimuti Islam, kini saat yang tepat bagi semua masyarakat muslim dan sipil, khususnya organisasi Muhammadiyah untuk mengkampanye dan masifikasi dakwah Islam yang damai atau kedamaian di tengah kompleksitas yang terus menyudutkan Islam. Ada beberapa alasan yang mendasarinya:
Kitab Suci untuk Muslim “Al-Qur’an” berisi wahyu yang diterima Nabi Muhammad (SAW). Cukup ‘membaca’ buku ini untuk menyadari bahwa umat Islam didorong untuk kedamaian, pengampunan, dan kesetaraan. Ada begitu banyak ayat dalam buku yang mendorong orang-orang percaya untuk menghormati orang lain, bermurah hati dengan orang miskin, setara dengan wanita dan juga kepada orang-orang yang memiliki kepercayaan pada agama lain.
Bahkan, dalam Surah Al Ma’ida tertulis bahwa jika itu untuk Allah, ia hanya akan membuat satu bangsa bersatu dalam agama tetapi ia bermaksud untuk menguji orang-orang beriman dalam apa yang ia berikan kepada mereka. Itulah sebabnya mereka harus bersaing satu sama lain dengan berbuat baik, karena kepada-Nya semua orang akan kembali dan itu adalah Dia untuk memberi tahu apa yang mereka bedakan satu sama lain.
Muslim didorong untuk selalu menemukan resolusi damai untuk masalah, sementara apa yang digunakan untuk membenarkan serangan teroris – “jihad” – mewakili konsep yang sama sekali berbeda, jauh dari terorisme, dan memiliki daftar aturan khusus yang sangat panjang.
Pada akhirnya, dalam dunia global saat ini, kita semua hidup dalam sebuah rumah kecil bersama. Semua manusia tanpa kecuali karena manuhsia idup di bawah atap yang satu. Juga, di hadapan kita hanya ada satu pilihan untuk terwujudnya dunia yang tentram, aman, dan damai. Yaitu, berani menembus sekat-sekat perbedaan yang ada dan membangun kerjasama atas dasar persaudaraan dan cinta kasih (rahmah).
Pesan Perdamaian Islam
Tidak ada agama besar yang tidak menekankan kedamaian walaupun hanya kelompok-kelompok kecil. Semua agama besar mengkhutbahkan perdamaian, tetapi kadangkala harus menghadapi saat-saat ketika perang tidak terelakkan karena satu dan lain hal.
Lebih lanjut, Umat Islam perlu mengemukakan bahwa karena tujuan semua ajaran yang benar adalah untuk mencapai Tuhan, yaitu kedamaian itu sendiri dan sumber dari seluruh kedamaian, islam juga bertujuan membawa umatnya kedalam “Alam Kedamaian” dan untuk menciptakan perdamaian sebisa mungkin didalam dunia yang pernah ketidakseimbangan, ketegangan, dan penderitaan ini. (Seyyed Hoseein Nasr, the heart of islam, Hal:258-260).
Dalam dunia Islam, karena agama masih merupakan potensi kekuatan, nama islam tetap digunakan untuk mendukung alasan apapun yang timbul, yang membawa pada pertikaian dan konflik.
Lebih lanjut, ketika kita kembali ke ajaran-ajaran yang merupakan inti semua agama yang benar, bagaimanapun, berusaha menghasilkan perdamaian dan menonjolkan ajaran-ajaran agama yang menekankan keserasian, keharmonisan, dan perdamaian didunia dan akhirat.(Hal:261).
Karena merupakan kualitas surgawi, kedamaian tidak mudah dicapai baik secara fisik maupun bathin. Untuk mendapatkan kedamaian fisik, orang harus berdamai dengan diri sendiri, dan untuk dapat berdamaian dengan diri sendiri, orang harus dalam keadaan damai dengan Tuhan.
Tujuan tertinggi Islam adalah membawa jiwa ke “alam kedamaian“ dengan menuntun kita agar menjalankan kehidupan yang suci dan membangun keharmonisan bathiniah dengan bantuan dari yang di atas.
Menurut Islam dan menurut semua ajaran agama yang benar, tujuan agama adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia yang pada gilirannya dapat menciptakan keadilan dan kedamaian didalam masyarakat sehingga orang dapat hidup dengan penuh kebajikan serta hidup dan mati dalam keadaan damai.
Bahwa tidak akan ada kedamaian tanpa keadilan, dan keadilan mengimplikasikan perjuangan terus menerus untuk membangun keseimbangan didunia, dari dalam dan dari luar. Tugas seorang muslim adalah berusaha membangun kedamaian dan keadilan dari dalam, dan dengan berdasarkan perintah Tuhan untuk menegakkan keadilan di dunia sekelilingnya.